Kabar baik untuk agen

Sebuah pesan pendek mampir di handphone saya siang itu. Nama pengirimnya saya kenal sebagai seorang agen asuransi di sebuah perusahaan joint venture. "Puji Tuhan sudah terima surat keputusan Dirjen Pajak No. PER-57/PJ/2009 diputuskan pajak untuk agen asuransi bukan karyawan memakai norma penghitungan pajak. Selamat, sekali lagi terimakasih atas dukungannya untuk AAJI, MDRT dan IAAI." Meskipun tidak terkait dengan nasib saya, hati ini ikut bersorak. Saya bersama seorang teman wartawan dari media lain yang sedang mampir ke ruang kerja Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata segera mengonfirmasi kebenaran berita tersebut.

Saat itu Biro Perasuransian juga belum mendapatkan kepastian berita tersebut. Meski demikian, Isa pun ikut menyatakan kegembiraan dan apresiasinya. "Itu menunjukkan dukungan yang diberikan Menteri Keuangan kepada industri-industri keuangan, seperti industri asuransi ini," ujarnya.

Keputusan itu tertampung dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-57/PJ/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Dirjen Pajak No. PER-31/ PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

Aturan itu ditandatangani Direktur Jenderal Pajak Mochammad Tjiptardjo pada 12 Oktober 2009. Dalam PER-31/PJ/2009 pasal 3 c disebutkan bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk petugas dinas luar asuransi.

Pada pasal 9 ayat 1 c disebutkan 50% dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.

Wajar saja keputusan ini disambut gembira seluruh kalangan industri asuransi. Perjuangan untuk mewujudkan reformasi pajak agen ini menempuh waktu yang cukup panjang, bahkan sudah digaungkan sejak Firdaus Djaelani masih menjabat sebagai Direktur Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan Depkeu.

"Saya sangat gembira dengan keputus-. an ini. Selama ini agen mengadu pada kami, mereka menangis dengan perlakuan pajak yang ada. Mereka seperti kerja bakti saja. Dengan ini saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Pak Isa dan Pak Firdaus," ujar Ketua AAJI Evelina F. Pietruchka dengan senyum mengembang.

Ruwetnya masalah perpajakan agenbermuara dari kondisi beberapa tahun yang lalu, saat asuransi masih menggunakan branch system di mana agen seperti karyawan mendapatkan gaji. Saat sudah menjadi sistem agency, sistem perpajakan yang berlaku masih menempatkan agen menjadi karyawan dan dikenakan tarif progresif.

Kondisi ini memberatkan karena dengan sistem agency, agen merupakan entrepreneur yang bekerja dengan komisi, tanpa mendapatkan gaji tetap dan tunjangan.

Padahal di sisi lain agen mengeluarkan biaya untuk menjalankan bisnis, transportasi, buku, seminar, maupun untuk memelihara hubungan baik dengan klien.

Pertemuan demi pertemuan dengan Ditjen Pajak digelar secara intensif. AAJI memperjuangkan mereka diperlakukan sebagaiyree/ance seperti halnya agen properti. Jika kebijakan pajak berubah, diyakini target asosiasi menjaring 500.000 agen pada 2012 dan aset Rpsoo triliun pada 2014 bisa tercapai.

Dengan munculnya aturan itu agen akhirnya bisa kembali tersenyum, terlebih lagi aturan norma 50% itu juga memberikan backdate masa berlaku mulai 1 Januari 2009. "Artinya pajak yang berlaku bagi agen itu dari 50% pendapatan, yang 50% lagi dianggap biaya. Jadi semakin besar income-nya, makin besar sauing-nya," ujar Direktur Eksekutif AAJI Stephen Juwono.

Meski demikian, AAJI memberlakukan persyaratan khusus. Asosiasi minta pemberlakuan sistem perpajakan agen yang baru ini harus diikuti penjualan yang profesional oleh agen, tidak miss selling, dan tunduk pada kode etik keagenanan asosiasi dengan tidak melakukan bajak-membajak agen.

Asosiasi juga minta agen mematuhi aturan mengenai sertifikasi dan pro-gram continuing professional development (CPD). "Juga tidak complain mengenai harga (sertifikasi agen) karena biaya sudah dipotong pajak untuk agen. Untuk agen yang tidak mematuhi, AAJI berhak untuk melaporkan ke kantor pajak untuk tidak memberlakukan norma 50% kepada agen tersebut," tegas Stephen.

Dia menambahkan sistem pajak baru ini hanya berlaku untuk agen yang memiliki NPWP, sehingga asosiasi menghimbau agar tenaga pemasaran mempunyai kartu tersebut.

Direktur Utama Allianz Life Indonesia

Jens Reisch juga menyatakan kegembiraannya atas putusan itu. Dia mengatakan perlakuan pajak yang baru ini akan mempermudah perusahaan memenuhi target rekrutmen agen baru dan agen juga lebih semangat bekerja sehingga produksi premi industri akan terdongkrak. "Baik jumlah agen maupun produksi premi saya perkirakan bisa terdongkrak 20%-30%," ujarnya.

Masih panjang perjuangan selanjutnya, bagaimana memberlakukan pajak yang lebih ringan untuk pemegang polis asuransi jiwa. Selamat berjuang!

Sumber : Bisnis Indonesia

Acuan Pembayaran Pajak 20 Sektor Diterapkan

PDF Cetak Email
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah menerbitkan indikator penguji pembayaran pajak (benchmarking) bagi 20 sektor usaha.Benchmarking akan diaplikasikan dalam waktu dekat guna mengidentifikasi sektor mana yang tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban pembayaran pajaknya. "Untuk benchmarking, kami sudah rilis data 20 sektor usaha dan sudah jadi dalam minggu ini. Sekarang lagi sosialisasi dan kemudian diaplikasi. Tapi, yang 20 sektor usaha ini masih jauh dari total 1.200 kelompok usaha," kata Penanggungjawab Teknis Sub-Tim Benchmarking Direktorat Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Singgih dalam pelatihan wartawan Forkem di Qtarik, Jawa Barat, kemarin.

Ia menjelaskan benchmarkingpajak digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kepatuhan membayar pajaknya relatif rendah atau di luar kelaziman. Menurut dia, benchmarking dibutuhkan untuk lebih mengefektifkan kinerja perpajakan karena sumber daya manusia yang masih sangat terbatas.

"Jadi, satu kantor pelayanan pajak itu ada sekitar 20 ribu wajib pajak yang hanya ditangani sekitar 80 petugas. Karena itu, kjta buat benchmarking untuk menyusun prioritas wajib pajak mana yang harus dipelototi," katanya.

Sementara itu, ke-20 sektor usaha yang telah dikenai benchmarking adalah industri minyak kasar dari nabati dan hewani, minyak goreng dari minyak kelapa sawit, rokok, pulp dan kertas, industri penerbitan, surat kabar, dan majalah.

Selain itu, farmasi, sepeda motor, kendaraan roda empat atau lebih, konstruksi, realestat, RS swasta, industri radio televisi, industri makanan dari cokelat, dan kembang gula.

Pajak BUMN

Kementerian BUMN menyatakan adanya kelebihan pembayaran pajak BUMN senilai Rp9,8 triliun. Kelebihan itu merupakan akumulasi pembayaran pajak oleh PT Pertamina (persero) sejak 2003.

Menurut Sekretaris Kementerian Negara BUMN Muhammad Said Didu, selama lima tahun kelebihan pembayaran telah mencapai Rpl5,22 triliun. Angka ini belum termasuk pajak yang direstitusi. Sebaliknya, kewajiban BUMN yang belum dipenuhi mencapai Rp5,4 triliun.

Sumber : Media Indonesia

Pencegahan Penghindaran Pajak via Transfer Pricing dan SPT PPh Badan

Waspadai penghindaran pajak dengan transfer pricing, begitu titah Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Sebab, banyak perusahaan besar yang melalaikan tmnsfer pricing untuk menghindari pajak. Ada dugaan, perusahaan itu melakukan transaksi dengan afiliasinya tidak dengan harga I wajar sehingga melaporkan rugi secara fiskal dan pada akhirnya tidak membayar pajak penghasilan badan. Penelitian Gunadi (Pajak Internasional, 1999) tentang perusahaan-perusahaan penanaman modal asing menunjukkan bahwa "...mereka begitu tega membuat Indonesia sebagai loss center untuk perusahaan multinasionalnya. Operasi di Indonesia selama bertahun-tahun direkayasa selalu rugi sehingga tidak pernah membayar pajak penghasilan badannya".

Nyatanya survei Ernst and Young menunjukkan bahwa trans/er pricing merupakan isu yang dianggap paling penting bagi tar director dari perusahaan-perusahaan global. Hasil survei menyebutkan, 39% ta.r director perusahaan multinasional di seluruh dunia menganggap transfer pricing merupakan bagian dari pekerjaan mereka.

Secara regional, angka tersebut menjadi 44% di Asia, 62% di China, dan 76% di Jerman (Ernst Youngs, Global Transfer Pricing Survey, 2007).

Formulir baru

Pemerintah tentu berupaya untuk mencegah transfer pricing. Bahkan, Menteri Keuangan menyiapkan 2.000 pemeriksa pajak yang akan ditingkatkan terus kuantitas maupun kualitasnya untuk melakukan upaya pencegahan. Sementara itu, laporan PricewaterhouseCoopers menyatakan lain "Tlie Indonesian tax auUiorities cannot be considered a sophisticated tax authority from a transfer pricing perspective". (PWC, International Transfer Pricing 2008 ). Entah siapa yang betul.

Yang membuat lebih gembira Direktur Jenderal Pajak telah menandatangani Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya. Hal ini membawa pena-nganan tmnsfer pricing di Indonesia memasuki fase baru yang selangkah lebih maju.

Secara umum, SPT PPh Badan tidak banyak perubahan, kecuali bagian yang terkait dengan transfer pricing. Ada dua formulir baru di sini pertama, formulir pernyataan transaksi dalam hubungan istimewa; kedua, formulir pernyataan transaksi dengan penduduk tax haven country.

Formulir pernyataan transaksi dalam hubungan istimewa merupakan penyempurnaan dari formulir yang ada sebelumnya. Beberapa perubahan yang dilakukan antara Iain (i) adanya daftar pihak yang mempunyai hubungan istimewa; (ii) adanya kewajiban mengungkapkan alasan pemilihan metode transfer pricing yang digunakan; (hi) adanya isian untuk menerangkan ringkasan dokumentasi transfer pricing yang dimiliki wajib pajak.

Ketiga, perubahan itu menunjukkan bahwa formulir itu merupakan manajemen risiko transfer pricing. Informasi yang diminta akan mengerucut pada dua pilihan apakah wajib pajak tersebut memiliki risiko tinggi penghindaran pajak melalui transfer pricing atau tidak.

Formulir berikutnya terkait dengan transaksi dengan pihak pada tax haven country. Fonnulir ini benar-benar baruan No. 650/KMK.04/1994 memuat lampiran daftar 32 negara yang kita anggap sebagai tax haven. Tapi, kemudian KMK tersebut dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 256/PMK.04/2008 dan daftar tax fia ven tidak lagi ada

Kedua, apakah kriteria penduduk tax haven country, termasuk dengan perusahaan-perusahaan bodong (letter-box company) dan re-invoicing center yang hanya namanya saja tercatat pada negara tav haven tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat memanfaatkan fasilitas pajak dari tax haven meskipun bukan penduduk negara tersebut (nonresident).

Masalah ketiga, tidak adanya peraturan yang mengaitkan transaksi dengan pihak tar haven dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, sehingga isian pada formulir tersebut seperti tidak memiliki fondasi.

Beberapa langkah

Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk memperkuat penanganan risiko transfer pricing melalui SPT yang disampaikan wajib pajak.

Pertama, pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan dan panduan tentang dokumentasi transfer pricing, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 16 ayat (3) PP No. 80 Tahun 2007. Adanya peraturan ini diharapkan akan membantu wajib pajak dalam menyiapkan dokumentasi transfer pricing.

Peraturan ini juga akan menyeragamkan pemahaman fiskus tentang dokumentasi transfer pricing yang harus disiapkan wajib pajak.dan meminta wajib pajak mengungkapkan transaksi yang dilakukannya dengan pihak yang berada di tax haven country. Formulir ini juga menanyakan apakah proses penetapan harga untuk transaksi tersebut dilakukan dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha seperti pada tra nsfer pricing.

Tapi, setidaknya ada tiga masalah pada formulir ini. Pertama, Direktorat Jenderal Pajak belum menetapkan siapa saja yang merupakan negara tax haven. UU Pajak Penghasilan hanya memberikan deflnisinya, yaitu "negara yang memberikan perlindungan pajak" (Pasal 18 ayat 3c). Dahulu, Keputusan Menteri Keuang-

Kedua, Direktur

Jenderal Pajak perlu segera menetapkan negara-negara mana saja yang merupakan tax haven country. Direktur Jenderal Pajak dapat meratifikasi daftar yang telah ada, baik yang dimiliki OECD maupun Bank Dunia.

Ketiga, selain daftar, sebaiknya pemerintah mengatur kewajiban penetapan harga wajar atas transaksi dengan tax haven country. Hal ini telah dilakukan Amerika Serikat dengan Stop Tar Haven Abuse Act, yang menetapkan bahwa mitra transaksi dari wajib pajaknya yang berada di tax haven dianggap memiliki hubungan istimewa, kecuali dapat membuktikan sebaliknya

Bayu Rahmat Rahayu, Peneliti Finedu Indonesia
Sumber : Harian Kontan

Target Pajak 2009 Direvisi Senin, 19 Oktober 2009 PDF

Departemen Keuangan (Depkeu) siap menghitung kembali proyeksi penerimaan pajak yang paling realistis untuk 2009. Sebab, penerimaan pajak hingga 30 September 2009 baru mencapai Rp 377,8 triliun, dari target akhir tahun ini Rp 577,3 triliun. "Situasi ekonomi belum pulih semuanya, kalau kami lihat, pajak pertambahan nilai (PPN) impor masih jauh dari target Sedangkan pajak penghasilan (PPh), khususnya large tax office (LTO) itu masih di bawah target Kami akan hitung kembali berapa realisasi yang paling realistis untuk kita," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Anggito Abimanyu di Jakarta, akhir pekan lalu.

Anggito menambahkan, pos belanja bisadihemat dengan menurunkan subsidi, karena harga-harga tak setinggi yang diperkirakan pemerintah sebelumnya. Secara umum, pemerintah juga menilai kondisi APBN masih aman. "Itu berdasarkan perhitungan prognosa pemerintah hingga 7 Oktober 2009," ucap dia. Guna mengejar target penerimaan pajak,

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyiapkan program benchmarking perpajakan bagi 1200 kelompok usaha. Upaya itu juga untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Menurut Penanggung Jawab Teknis Sub Tun BenchmarkuigDirektont Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Singgih, saat ini 20 sektor usaha sudah siap dijadikan benchmark dan 30 kelompok usaha segera menyusul.

Tang 20 sektor usaha, benchmar-/dng-nyz sudah jadi dalam minggu ini. Kami tinggal menunggu aplikasinya saja, sekarang dalam proses sosialisasi," kata Singgih di Sukabumi, Sabtu (17/10).

Total benchmark-ingyang diaplikasikan Ditjen Pajak ini adalah membandingkan rasio-rasio yang terkait tingkat laba perusahaan dan berbagai inputdalam kegiatan usaha. Aspek-aspek yang diuji antara lain biaya usaha, aktivitas luar usaha, obyek pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh), dan pajak masukan. Selain itu, Ditjen Pajak melihat hubunganketertarikan antarrasio, sehingga dapat dinilai kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak. "Kamijuga mulai hitung keuntungan sebelum pajak, rasio pajak terhadap penjualan, kemudian aktivitas (pendapatan) luar usaha ini biasa disebut others income atau others expenses," papar dia.

Data hasil benchmark tersebut akan diperiksa ulang dengan data penyampaian surat pemberitahuan (SPT) massa maupun tahunan serta data lain yang telah disampaikan oleh wajib pajak. Apabila dalam proses verifikasi antara data hasil benchmark dan SPT wajib pajak ternyata ditemukan alasan yang tidak masuk akal. Ditjen Pajak akan melakukan tindak lanjut berupa imbauan, konseling, maupun pemeriksaan.

Dia juga menyebutkan, ke-20 sektor usaha yang dijadikan benchmark meliputi industri minyak kasar dari nabati dan hewani, minyak goreng dari minyak kelapa sawit, rokok kretek, rokok putih, pulp, dan kertas. Sektor usaha lain adalah industri penerbitan, surat kabar dan majalah, farmasi, sepeda motor, kendaraan roda empat atau lebih, sektor konstruksi, real estat rumah sakit (RS) swasta, roti, perdagangan besar mobil (dealer), perdagangan peralatan, dan perlengkapan rumah tangga.

Selain itu, benchmarking dilakukan pada usaha perdagangan besar bahan-bahan konstruksi, perdagangan eceran berbagai barang yang utamanya makanan minuman atau tembakau di pasar swalayan, industri radio-te-levisi, serta industri makanan dari cokelat dan kembang gula.

Pertambangan Tahap II

Sedangkan, 30 sektor usaha yang segera menyusul untuk di-benchmark akan mencakup industri pertambangan. "Pertambangan nanti masuk tahap E karena (payung hukum) industri pertambangan ini kan rata-rata pakai Undang-Undang (UU) Perpajakan lama. Adapun, benchmarkingwi kami susun berdasarkan UU Perpajakan yang baru," papar dia.

Sumber : Investor Daily Indonesia

30 Sektor jadi acuan pajak 2010, Benchmarking jadi alat pemeriksaan WP

Direktorat Jenderal Pajak berencana menambah 30 sektor usaha untuk dijadikan acuan kewajaran penerimaan pajak (benchmarking) sehinqga ditargetkan ada 50 klasifikasi lapangan usaha (ULU) pada tahun depan. Singgih, Penanggungjawab Teknis Sub Tim Benchmarking Direktorat Transfor-1 masi Proses Bisnis Ditjen Pajak, mengungkapkan dari 1.200 KLU yang diterbitkan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, baru 20 KLU yang sudah memiliki benchmark atas kewajiban pajaknya.

Pada tahun depan, pihaknya akan menetapkan 30 KLU yang mengacu pada data SPT tahunan PPh badan selama periode 2005-2007. "Untuk rilis tahap kedua ada 30 KLU pada tahun depan, di antaranya sektor usaha pertambangan, penyiaran radio dan televisi," ungkapnya, pekan lalu.

Menurut dia, selain dari Depperin dan Depdag, penetapan sektor usaha dalamproses benchmarking pajak mengacu pada data Badan Pusat Statistik atas sektor usaha yang memiliki output dan kontribusi terhadap perekonomian paling besar. Akan tetapi, benchmark tersebut bukanlah alat untuk menetapkan tagihan pajak, melainkan alat pembanding kewajiban pajak guna mendukung pengawasan prilaku para wajib pajak badan.

Ditjen Pajak telah mengeluarkan surat edaran pada 5 Oktober 2009 No. SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya. Aturan itu menjadi dasar penilaian kewajaran kinerja keuangan dan kewajiban para wajib pajak dari 20 KLU. [lihai tabel)

Pengamat Perpajakan dari Tax Center Universitas Indonesia Darussalam berpendapat langkah intensifikasi melalui benchmarking untuk setiap sektor usaha perlu dilakukan sebagai acuan menilai kewajaran laporan WP. Benchmarking tersebut juga dapat dipergunakan sebagai langkah awal untuk menentukan apakah suatu wajib pajak perlu diperiksa atau tidak.

"Karena itu perlu diperhatikan benchmarking harus selalu di-update dengan kondisi perekonomian sehingga benchmarking tersebut sangat akurat dan dapat menjadi alat pembanding," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Sumber : Bisnis Indonesia

Dirjen Pajak, Yang Bandel Bakal Dicekal Disandera

Kontroversi ancaman Dirjen Pajak malah bikin senang aparat pajak. Pasalnya, hanya dalam tempo sepekan, nilai tunggakan pajak perusahaan pelat merah menyusut dari Rp 19,3 triliun menjadi tinggal Rp 7 triliun saja. Ambil contoh, PT Kereta Api (KA) yang langsung membayar Rp 136 miliar sehingga tunggakan pajaknya tinggal Rp 94 miliar dari sebelumnya Rp 230 miliar.

"Kami teruskan saja ngomong di media karena ini efektif untuk mendorong BUMN membayar tunggakan pajaknya," kilah Dirjen Pajak Tjiptardjo di Jakarta, kemarin.

Perusahaan yang menunggak pajak, kata Tjiptardjo, kebanyakan adalah BUMN-BUMN besar. Sayang, dia tidak mengatakan detail nama-namanya. Sebelumnya, Tjiptardjo sempat menyebut nama PT Pertamina dan PT Garuda Indonesia.

Tjiptardjo tidak menyatakankapan batas akhir BUMN yang masih menunggak pajak itu mesti melunasi semua kewajibannya. "Yang jelas, kami ingin secepat mungkin dibayar. Kalau mereka bayarnya lambat itu kan akan kena bunga," ujarnya.

Selain itu, Tjiptardjo mengatakan, pihaknya tidak segan-segan melakukan sejumlah langkah tegas, termasuk melakukan penyanderaan bagi pengutang pajak yang membandel. Di antaranya bagi pengutang pajak non-BUMN yang jumlahnya cukup besar.

"Yang kita lakukan mulai yang lunak sampai yang keras seperti imbauan, teguran, sita, lelang, pembekuan rekeningnya, pencegahan ke luar negeri, dan penyanderaan," tandasnya.

Sebelumnya, Tjiptardjo juga mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengejar penagihan tunggakan pajak sebesar Rp 54,7 mi-liar terhadap pusat perbelanjaan Atrium Senen, Jakarta.

Pusat belanja mewah di kawasan Jakarta Pusat ini, menunggak pajak sebesar Rp 36 miliar dan tambahan denda sebesar Rp 18,7 miliar sejak tahun 1992. Kasus ini tinggal menunggu keputusan Mahkamah Agung.

"Tunggakkan sebesar Rp 19 triliun itu yang dikelola oleh kanwil LTO (Kantor Pajak Orang Kaya) sebagian besar utang BUMN dan proses penagihannya jalan terus ada yang sudah melunasi dan sekarang ini sisa tunggakan BUMN yang sedang diproses tinggal kurang lebih Rp 7,9 triliun," jelasnya.

Sementara, Meneg BUMN Sofyan Djalil membantah tunggakan pajak BUMN mencapai Rp 19,3 triliun. "Saya akan coba mengklarifikasi apa yang terjadi, saya rasa jumlah sebesar itu tidak mungkin," kata Sofyan.

Sumber : Rakyat Merdeka

Realisasi Insentif PPh 21 Rp 55 Miliar

Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Departemen Keuangan menyatakan banyak perusahaan belum melaksanakan program stimulus fiskal, berupa pemotongan pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) untuk pegawai. Itu terindikasi dari realisasi stimulus fiskal PPh 21 yang baru mencapai Rp 55 miliar dari total dana yang dianggarkan pemerintah Rp 6,5 triliun. "Pemotongan PPh 21 bagi karyawan adalah hak karyawan yang harus dilaksanakan, namun hingga saat ini banyak karyawan belum menikmati pemotongan PPh 21 itu,"kata Dirjen Pajak M Tjiptardjo, di Jakarta, Jumat (9/10).

Menurut Tjiptarjo, banyak perusahaan khawatir hak pemotongan PPh 21 itu bakal mendorong para karyawan untuk menagih tambahan pendapatan itu pada tahun berikutnya. Padahal, program stimulus PPh 21 merupakan program jangka pendek yangdilakukan hanya pada 2009 saja.

Tjiptarjo juga menduga kelambanan pelaksanaan program, karena banyak perusahaan yang sejak awal sudah nakal dan tidak jujur dalam melaporkan PPh karyawannya. "Seharusnya, asosiasi karyawan dan perusahaan berbicara dengan pihak perusahaan terkait itu," ujar dia.

Pada bagian lain, Tjiptardjo mengungkapkan, hingga September 2009 pihaknya menghukum sebanyak 211 pegawai Ditjen Pajak. Hukuman dijatuhkan kepada karyawan yang melanggar aturan, seperti selingkuh, menikah lagi tanpa izin, hingga praktik menerima amplop.

"Sampai bulan September, kami telah menghukum 211 aparat pajak dari hukuman berat sampai ringan, seperti penurunan pangkat dan hilangnya hak remunerasi sekitar 10*. Dari 211 orang itu seharusnya diberikanremunerasi Rp 14 miliar, tetapi tinggal Rp 2 miliar saja,"jelas dia

Dia menambahkan, untuk pelanggaran berat termasuk perilaku kriminal, Ditjen Pajak menyerahkan masalah pidananya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penyidik pajak. "Kami akan jaga momentum itu, selama ini kami sudah bersusah payah menjaga citra,"tutur dia.

Menanggapi itu, anggota DPR Oily Dondokambey menyambut baik langkah DJP mendisiplinkan aparat pajak yang tidak menjaga baik citra lembaga tersebut Menurut OUy, langkah tegas DJP itu seharusnya ditiru oleh kementerian/lembaga (K/L) lain, sehingga efektivitas dan kinerja pemerintah terukur dengan jelas.

"Langkah itu patut diacungi jempol, namun sebaiknya tidak berhenti hanya disitu, tapi terus di tingkatkan, "papar dia. (raj)

Sumber : Investor Daily Indonesia

Tarif PBB Turun Jadi 0,3 Persen, Wajib Pajak PBB Bermasalah Bisa Diperiksa

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk Perdesaan dan Perkotaan diturunkan dari 0,5 persen terhadap nilai jual obyek pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari NJOP. Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB. Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.

"Saat ini, basis data PBB mencapai 92 juta obyek pajak. Itu akan kami distribusikan secara bertahap kepada daerah. Namun, daerah harus memiliki perangkat teknologi informasi yang kuat karena mengelola data yang sangat besar itu bukan perkara mudah. Jika teknologinya tidak kuat, bisa ada kesalahan penetapan NJOP," ungkap Direktur Ekstensifikasi Pajak Direktorat Jenderal Pajak Hartoyo di Jakarta, Jumat (9/10).

Perubahan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan itu ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang selesai diamande-mcn pada 15 Septemlier 2009.

Selain mengubah besaran tarifnya, UU ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).

Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100 persen dari NJOP yang sudah dikurangi NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak dipergunakan lagi.

Bayar PBB makin ringan

Selain itu, besaran NJOPTKP juga diubah dari sebelumnya ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12 juta, kini paling rendah Rp 10 juta per obyek pajak.

Artinya, pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif NJOPTKP tanpa batasan. Semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin ringan pembayaran PBB yang harus ditanggung masyarakat.

Dengan demikian, semakin tinggi NJOPTKP, akan semakin tinggi insentif yang diberikan pemerintah kabupaten dan kota kepada dunia usaha.

Sebagai ilustrasi, jika seorang warga memiliki tanah seluas 800 meter persegi dengan harga jual Rp 300.000 per meter persegi, NJOP-nya mencapai Rp 240 ju-ta

Kemudian dia juga memiliki rumah seluas 400 meter persegi,taman (200 meter persegi), dan pagar setinggi 1,5 meter dan panjang 120 meter dengan nilai jual masing-masing Rp 350.000, Rp 50.000, dan 175.000 per meter persegi, sehingga NJOP-nya adalah Rp 181,5 juta.

NJOP rumah, taman, dan pagar harus dikurangi NJOPTKP terlebih dahulu, katakan tarifnya Rp 10 juta, sehingga nilai jual bangunan kena pajak hanya Rp 171,5 juta.

Dengan demikian, total nilai jual obyek pajak kena pajak baik tanah, rumah, taman, dan pagar mencapai Rp 411.5 juta. Angka inilah yang dikalikan dengan tarif PBB-nya, misalnya ditetapkan 0,2 persen, sehingga PBB yang harus dibayar adalah Rp 823.000.

"Pemeriksaan atas wajib pajak PBB yang bermasalah bisa dilakukan pemda bersama Ditjen Pajak. Adapun pembukuan PBB Perdesaan dan Perkotaan bisa dilakukan di daerah dan Ditjen Pajak. Daerah harus memiliki tim penilai aset yang kuat untuk menetapkan besaran NJOP-nya," ujar Hartoyo.

Anggota DPR sekaligus anggota Panitia Khusus RUU PDRD. Nursanita Nasution, mengatakan. PBB dialihkan kepada pemerintah kabupaten dan kota dalam waktu lima tahun terhitung sejak UU PDRD disahkan karena daerah sendiri membutuhkan persiapan untuk menanggung kewenangan baru itu.

Sumber : Kompas

Ditjen Pajak Siapkan Juklak UU PPnBM Probisnis

Pemerintah memastikan peraturan pelaksana Undang-Undang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang akan diterbitkan tidak akan kontraproduktif terhadap dunia usaha nasional. Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan salah satu pertimbangan yang dipakai dalam penyusunan aturan yang menjadi petunjuk pelaksana (juklak) tersebut adalah untuk melindungi industri dalam negeri.

"Pemerintah nggak mau menang sendiri. Kebijakan itu suatualat atur untuk melindungi industri dalam negeri atau mendorong sektor tertentu. Memang akan ada yang terkena [dirugikan], tapi jumlahnya kecil. Artinya kita harus bijaksana betul," katanya pekan ini.

Menurut dia, pemerintah selalu akan melakukan cost-benefit analysis dari setiap kebijakan yang akan diambil. "Jadi tidak semata-mata untuk penerimaan tapi juga pengaturannya bagi keadilan dan supaya orang miskin ikut menikmati. Kita akan gunakan alat itu untuk melindungi, mendorong, dan mengembangkan usaha."

Selain itu, lanjut Tjiptardjo, pemerintah juga akan terbuka da-lam penyusunan juklak tersebut. "Kita juga akan cari informasi dari stake holder-nya agar hasilnya tidak kontraproduktif. Jadi nggak usah khawatir mereka. Pemerintah sudah memikirkan semua aspek."

Di pihak lain, Gunadi Sindu-winata, Presiden Direktur Indomobil Group, yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian, Riset dan Teknologi, meminta pemerintah tidak mengenakan PPnBM atas produk otomotif yang diproduksi di dalam negeri.

"Karena kita mempunyai kekuatan basis dalam negeri yang cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, yang mo-del-modelnya Rpl50 jutaan dan maksimum Rp200 juta. Jadi Jangan sampai dia terkena dampak dari koreksi PPnBM," katanya.

Dalam UU PPN PPnBM baru disebutkan tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%. Adapun ketentuan mengenai kelompok barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah yang dikenai PPnBM akan diatur dengan peraturan pemerintah. Selain itu, ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai PPnBM akan diatur dengan peraturan menteri keuangan.

Sebelumnya, DPR meminta pemerintah segara mengonsulta-sikan penyusunan juklak tentang kelompok dan jenis barangyang akan dikenai PPnBM.

Mantan Ketua Panitia Kerja UU PPN-PPnBM yang kini kembali terpilih menjadi anggota DPR periode 2009/2014, Vera Febyan-thy, mengatakan semua perumusan aturan pelaksana yang berkaitan dengan pengenaan PPnBM harus terlebih dahuJu dikonsultasikan dengan komisi terkait di DPR.

"Kalau tarif .itas jenis barang yang dikenai PPnBM memberatkan masyarakat tentunya DPR aJan memberikan masukan. Tapi juga harus hati-hati karena terkait potensial loss yang bisa hilang jika suatu barang tidak masuk klasifikasi kena PPnBM," jelasnya.

Sumber : Bisnis Indonesia

Aturan Penyusutan Disesuaikan

Wajib pajak kini dapat menentukan sendiri masa manfaat dari aktiva berwujud selain bangunan sesuai dengan keadaan sebenarnya dalam rangka keperluan penyusutan. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak tertanggal 2 Oktober 2009 No. PER-55/PJ/2009 tentang Tatacara Permohonan dan Penetapan Masa Manfaat Yang Sesungguhnya Atas Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan.

Kebijakan tersebut hanya berlaku apabila WP dapat menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya dari suatu harta berwujud bukan bangunan, tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok 3 (masa manfaat 16 tahun).

"WP harus mengajukan permohonan untuk penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan tersebut sesuai dengan masa manfaat sesungguhnya kepada Dirjen Pajak melalui Kepala Kanwil Ditjen Pajak yang membawahi KPP tempat WP yang bersangkutan terdaftar.

Sumber : Bisnis Indonesia

Acuan Kewajaran Pajak 20 Sektor Usaha Disiapkan

Direktorat Jenderal Pajak telah menyusun rasio total benchmarking atas 20 klasifikasi lapangan usaha (Kl.in yang akan digunakan sebagai alat bantu untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak (WP). Untuk itu, Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo melalui surat edaran tertanggal 5 Oktober 2009 No. SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya, memerintahkan seluruh kepala kantor pelayanan pajak (KPP) untuk memanfaatkannya.

"Memerintahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak agar memantau pelaksaan pemanfaatan total benchmarking oleh KPP," katanya dalam SE itu yang diterima Bisnis, kemarin.

Saat dimintai konfirmasi, Tjiptardjo menegaskan pelaksanaan total benchmarking tersebut tidak semata-mata untuk mengejar setoran pajak tahun ini yang tinggal 3 bulan lagi, tetapi untuk memperbaiki tingkat kepatuhan WP. ,

"Ini juga merupakan bagian [ kebijakan] yang telah disiapkan oleh Pak Darmin Nasution (mantan Dirjen Pa-jak]. Dari 20 KLU yang sudah selesai sekarang akan ditebarkan [ditambahi lagi. Nanti yang sudah selesai juga akan dievaluasi lagi."

Dia menuturkan total benchmarking tersebut hanya sebagai alat bantu yang dapat digunakan oleh aparat pajak dalam membina WP dan menilai kepatuhan perpajakannya sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak.

"Perlu diagnosa lebih mendalam untuk dapat menentukan apakah WP tersebut benar-benar tidak patuh atau terdapat faktor-faktor loin yang menyebabkan WP memiliki kinerja berbeda dengan benchmark," katanya dalam SE itu.

Potensi pajaK

Pengamat pajak dari DEA Consulting Winarto Sugondo menilai kebijakan bendimarking tersebut sangat baik untuk mengetahui potensi penerimaan negara dari pajak.

"Tapi saya rasa indikator ekonomi lainnya seperti rasio inflasi, rasio UMR (upah minimum regional), dan indikator global lainnya juga harus dimasukkan agar lebih fair."

Rasio total benchmarking yang dilakukan Ditjen Pajak tersebut memiliki empat karakteristik yaitu rasio total benchmarking disusun berda-sarkan kelompok usaha, benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan tingkat laba dan input-input perusahaan, ada keterkaitan antarrasio benchmark, dan fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Sementara itu, rasio-rasio yang berkaitan dengan tingkat laba dan input-input perusahaan yang dilakukan benchmarking terdiri dari gross profit margin, operating pmfit margin, dan pretax profit margin.

Rasio lainnya meliputi corporate tax to tum over ratio, net profit margin, dividend payout ratio, rasio PPN masukan, rasio biaya gaji terhadap penjualan, rasio biaya bunga terhadap penjualan, dan rasio biaya sewa terhadap penjualan.

Acuan perhitungan ini juga memasukkan rasio biaya penyusutan terhadap penjualan, rasio input antara lainnya terhadap penjualan, rasio penghasilan luar usaha terhadap penjualan, dan rasio biaya luar usaha terhadap penjualan.

Penetapan rasio benchmark menggunakan data perpajakan 2005-2007. Hasil rasio total benchmarking tersebut juga baru tahap awal sehingga masih dalam proses penyempurnaan berdasarkan kondisi di lapangan.

Sumber : Bisnis Indonesia

Ditjen Pajak Rintis Audit Gabungan Cegah Transfer Pricing

Direktorat Jenderal Pajak tengah merintis kerja sama audit pajak dengan negara lain untuk mengejar sekaligus mencegah terjadinya praktik penghindaran pajak lintas negara. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan untuk sementara waktu kerja sama audit tersebut dilakukan dengan negara-negara yang mempunyai tax treaty (perjanjian pajak) dengan Indonesia.

"Misalnya saya akan join dengan Jepang yang sedang mengaudit perusahaan di Jepang di mana perusahaan itu punyahubungan dengan perusahaan di Indonesia. Kita akan kirim orang untuk ikut pemeriksaan di sana. Begitu juga sebaliknya," jelasnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Sementara bagi negara-negara yang menganut prinsip tax haven, Ditjen Pajak akan menunggu sampai kelompok negara tersebut terbuka dengan sendirinya. "Kan sebentar lagi dengan G-20 akan terbuka, kalau nggak mau terbuka mereka akan kena sanksi. Kami siapkan dulu tenaga aparat kita. Jadi ini buktikan bahwa Ditjen pajak tidak ngomong doang," ujarnya.

Dengan adanya kerja sama audit pajak tersebut, dia mengha-rapkan segala bentuk kejahatan perpajakan lintas negara dapat ditelusuri dan diberantas. "Kita bisa saling cross check data. Jadi biar permainan mereka ketahuan karena biasanya mereka main-main di luar negeri."

Tjiptardjo menambahkan kerja sama audit pajak tersebut sebenarnya sudah bisa langsung dilakukan karena ketentuannya telah diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.

"Sekarang sudah ada competent authority. Jadi mulai sekarang kalau memang ada kasus bisa langsung dilaksanakan, tetapi tergantung dengan kerja sama dengan negara lain. Mudah-mudahan mereka koope-ratif," tuturnya.

Audit bersama

Pengamat perpajakan dari Tax Center UI Darussalam menjelaskan audit bersama dalam konteks perpajakan internasional disebut sebagai simultaneous tax examinations. Upaya ini terkait dengan pemeriksaan terhadap WP yang melakukan transfer pricing. Audit dilakukan secara bersamaan yakni di negara pemberi penghasilan dan di negara penerima penghasilan.

Menurut dia, kebijakan join audit tersebut sangat efektif untuk mengejar penghindaran pajak karena dilakukan secara kom-perehensif oleh dua negara dalamdua perspektif yang berbeda, yaitu dari sisi negara pemberi penghasilan dan negara penerima penghasilan.

"Kebijakan ini dapat dilakukan melalui mekanisme pasal ex-change of information yang diatur dalam tax treaty. Ini memang disarankan oleh OECD |Organisati-on for Economic Cooperation and Development) dalam upaya untuk memerangi penghindaran pajak."

Darussalam menambahkan kebijakan join audit dapat dilakukan apabila setiap negara mempunyai kepentingan sama misalnya untuk mengejar WP tertentu yang dicurigai melakukan penghindaran pajak.

Sumber : Bisnis Indonesia

SPT Nihil Segera Disisir

Direktorat Jenderal Pajak akan menyisir surat pemberitahuan (SPT) tahunan PPh orang pribadi yang nilainya nihil.Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan penyisiran dilakukan karena selama ini disinyalir banyak wajib pajak (WP) orang pribadi yang tidak melaporkan penghasilannya di luar gaji dalam SPT yang dilaporkan. "Kalau SPT ada nihil atau bahkan nggak masukin SPT, tak kejar itu, sampai ke neraka sekalipun tak kejar," .tegasnya saat ditemui di kantornya, akhir pekan lalu.

Dia menuturkan penyisiran SPT nihil akan dilakukan dengan cara mengoptimalkan database yang dimiliki Ditjen Pajak melalui program optimalisasi pemanfaatan data perpajakan. "Saya nanti akan optimalkan database yang ada di pajak."

Bahkan Tjiptardjo mengungkapkan pihaknya saat ini tengah mengincar kepatuhan pajak dari bos PT Ma-saro Anggoro Wijaya karena yang bersangkutan tidak menyampaikan SPT PPh tahun pajak 2008.

"Misalnya sekarang ada tokoh top yang dicari-cari KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] berkaitan dengan Masaro. Saya nggak mau bilang siapa orangnya tapi inisialnya AW. Itu lagi dikejar pajak untuk penyidikan. Dia nggak masukin SPT 2008 sampai sekarang."

Selain tidak menyampaikan SPT. lanjutnya, pembayaran pajak yang dilakukan Anggoro selama ini dinilai tidak wajar karena jumlahnya yang terbilang kecil atau tidak sebanding dengan jumlah penghasilan yang diperoleh.

"Kalau ditemukan bukti lada pelanggaran] langsung penyidikan. Dia pasti orang kaya. Dia kabur nggak jadi soal, in absentia tetap disidangkan. Jadi no way, nggak ada maaf," tegasnya.

Menurut dia, Ditjen- Pajak kali ini tidak akan main-main untuk menindak tegas WP orang pribadi terutama WP kaya yang mempunyai tunggakan pajak, termasuk pejabat negara sekalipun.

Sumber : Bisnis Indonesia

Redam 12 Modus Penghindaran Pajak

Senin, 05 Oktober 2009 07:53

Mulai tahun 2010. pemerintah mengintensifkan penggalian potensi penerimaan pajak, yakni dengan meredam 12 modus penghindaran Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Hal itu, menurut Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, dibutuhkan untuk menutup kenaikan target penerimaan pajak APBN 2010, yaitu Rp 658,3 triliun.

Menkeu menyampaikan hal itu di Jakarta pekan lalu saat memaparkan isi UU tentang APBN 2010.

Ia menjelaskan, 12 modus penghindaraan pajak itu akan di-redam dengan menggunakan mekanisme optimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP), terutama pada transaksi yang dinilai tidak wajar.

Enam jenis transaksi tidak wajar yang biasanya dilakukan untuk menghindari pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) adalah mengalihkan sebagian omzet ke persediaan akhir. Melakukan kompensasi kerugian yang tidak diperkenankan. Mengkreditkan PPh Pasal 25 dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak lebih besar daripada sebenarnya Me-nyandingkan omzet PPh dengan omzet Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menyandingkan biaya gaji dengan PPh Pasal 21. Pembebanan biaya overhead, seperti sewa, jasa, transportasi, promosi, dan bunga, tanpa diimbangi PPh Pasal 23 atau Pasal 4 Ayat 2.

Adapun enam transaksi tidak wajar lainnya yang digunakanuntuk menghindari pembayaran PPN adalah wajib pajak tidak melaporkan sebagian pajak keluarannya Wajib pajak memungut PPN, tetapi tidak membayarkan ke kantor pajak atau tidak melaporkan dalam SPT. Wajib pajak nonperusahaan kena pajak menerbitkan faktur pajak yang sudah dikreditkan orang lain.

Selain itu, wajib pajak menggunakan surat setoran pajak (SSP) palsu. Wajib pajak melakukan restitusi, tetapi pajak lebih bayar itu dikompensasi pada bulan berikutnya. Wajib pajak terindikasi menggunakan faktur pajak fiktif.

Selain menggunakan OPDP, strategi lain yang dilakukan pemerintah adalah melanjutkan program pemetaan dan penetapan tolok ukur atas wajib pajak di sektor industri yang sama, yang dilakukan dengan lima langkah.

Pertama, memantapkan profil semua wajib pajak di kantor pelayanan pajak (KPP) madya, KPP larye taxpayer qgice/kantor wajib pajak besar) dan khusus, serta 500 wajib pajak di masing-masing KPP Pratama.

Kedua, membuat profil wajib pajak berdasarkan gedung tempat bekerja. Ketiga, pengawasan secara intensif PPh Pasal 25 dari perusahaan ritel. Keempat, mengawasi wajib pajak pribadi potensial. Kelima, optimalisasi penggalian pajak dari wajib pajak bendahara.

"Tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto) tahun 2010 ditetapkan 12,4 persen, naik dibandingkan 2009, yakni 12 persen," ujar Sri Mulyani.

Sumber : Kompas

Sumbangan gempa jadi pengurang PPh, Pajak atas bantuan ditanggung pemerintah

Senin, 05 Oktober 2009 07:49

Sumbangan atau bantuan yang diberikan kepada korban bencana alam di berbagai wilayah Indonesia dan yang terakhir terjadi di Sumatra Barat, Jambi, dan sekitarnya, dapat dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan pajak penghasilan (PPh). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Djoko Slamet Surjoputro mengatakan kebijakan tersebut merupakan insentif bagi masyarakat terutama pelaku usaha agar terdorong untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada para korban bencana.

PPh atas sumbangan yang telah diberikan oleh penyumbang akan ditanggung oleh pemerintah.

"Dalam rangka mendorongpartisipasi masyarakat untuk meringankan beban para korban, pemerintah memberikan suatu kebijakan berupa pengakuan sumbangan sebagai biaya dalam menghitung PPh," katanya dalam siaran pers yang diterima Bisnis, kemarin.

Bagi masyarakat yang memerlukan informasi lebih lanjut, terang Djoko, dapat langsung menghubungi call centre Ditjen Pajak di nomor telepon 500200.

Sementara itu. Direktur Perpajakan II Ditjen Pajak Sjarifuddin Alsah menjelaskan ketentuan dan tata cara pemberian sumbangan untuk sementara waktu mengikuti ketentuan PMK lama, sambil menunggu payung hukum berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

"Secara prinsip semuanya Isyarat, ketentuan, dan tata cara pelaksanaan] sama dengan PMK-PMK yang mengatur tentang sumbangan dapat dijadikan sebagi pengurang penghitungan PPh. Hanya masalah tempat dan waktunya saja nanti yang berbeda," jelasnya.

Dia menuturkan PMK yang saat ini dalam proses pembuatan tersebut nantinya berlaku surut sejak tanggal terjadinya bencana. "Kelihatannya fasilitas ini akan berlaku sampai dengan akhir tahun mengingat besarnya dampak bencana yang ditimbulkan."

Tidak hanya bencana yang terjadi di wilayah Sumatra, lanjutnya, pemberian insentif juga akan berlaku atas sumbangan yang diberikan kepada korban bencana gempa bumi yang terjadi di Jawa Barat beberapa bulan lalu. "Berapa besar potential loss-nya itu tergantung seberapa besar sumbangan yang diberikan."

Berdasarkan ketentuan dalam PMK-PMK lama itu, sumbangan yang dapat diperhitungkan sebagai biaya apabila, pertama sumbangan dalam bentuk uang dan barang (sebesar nilai buku fiskal barang).

Kedua, sumbangan dibiayakan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan tahunan PPh tahun pajak, ketiga, pembebanan biaya sumbangan harus dicatatkan sebagai sumbangan di tempat terjadi bencana.

Keempat; sumbangan harus disalurkan oleh instansi pemerintah a.l. Kantor Wapres, Kantor Menko Kesra, Depsos, Depkes, dan Depkeu, serta pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya, termasuk Palang Merah Indonesia, media massa cetak dan elektronik, dan organisasi sosial dan/atau keagamaan.

Kelima, ada bukti sah dan dapat diuji kebenarannya. Keenam, instansi pemerintah atau pihak lain harus mendaftarkan diri sebagai penampung, penyalur, dan-/atau pengelola sumbangan kepada Kantor Pusat Ditjen Pajak.

Ketujuh, pengguna fasilitas ini WP badan yang penghasilannya tidak dikenakan PPh final dan WP orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas.

Kedelapan, penampung, penyalur, dan/atau pengelola sumbangan wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dan/atau penyalurannya kepada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak untuk setiap kuartal, jika tidak akan dilakukan pemerik-saan.

Sumber : Bisnis Indonesia

Ditjen Pajak Intensifikasi Transaksi PPN dan PPh

Ditjen Pajak akan mengintensifkan penggalian potensi pajak menggunakan sistem optimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP). Hal ini untuk mengetahui transaksi yang di luar kewajaran. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan, upaya tersebut dilakukan guna mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2010 sebesar Rp 742,7 triliun atau naik 1.9% dari target tahun ini Rp 729,2 triliun. Penerimaan pajak dalam negeri tahun depan ditargetkan naik Rp 13,5 triliun menjadi Rp 715,5 triliun.

"Intensifikasi menggunakan OPDP dilakukan pada pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh)," kata dia saat konferensi pers APBN 2010 di Gedung Depkeu Jakarta, Rabu (30/9) malam.

Tjiptardjo menjelaskan, dari aplikasi OPDP, pihaknya dapat menggali informasi dari berbagai transaksi terkait PPN. Misalnya, wajib pajak (WP) yang tidak melaporkan sebagian pajak keluarannya.

Selain itu, kata dia, pihaknya dapat mengetahui WP yang memungut PPN tetapi tidak membayar atau melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT). Aplikasi itu juga dapat mendata WP yang terindikasi menggunakan faktur pajak fiktif.

Sedangkan intensifikasi PPh melalui OPDP bermanfaat untuk menggali informasi WP yang mengalihkan sebagian omzet ke persediaan akhir. Selain itu, untuk mengetahui WP yang melakukan kompensasi kerugian yang tidak diperkenankan. "Aplikasi OPDP juga untuk mengetahui WP yang mengkre-ditkan PPh pasal 25 dalam SPT lebih besar dari sebenarnya," ucap dia.

Ditjen Pajak juga akan mengoptimalkan data perpajakan khususnya WP kaya. Salah satu WP kaya, kata dia, ada yang membayar pajak hanya Rp 2 miliar. Padahal, berdasarkan data yang ada, wajib pajak tersebut seharusnya membayar pajak Rp 90 miliar.

Di tempat sama, Menteri Keuanan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah perlu mengoptimalkan pendapatan negara pada 2010. Hal ini dilakukan dengan mengoptimalkan penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Rasio pajak (taxratio) 2010 sekitar 12.4%dari PDB.

Sumber : Investor Daily Indonesia

7 Kriteria WP nonefektif ditetapkan

Senin, 28 September 2009 08:44

JAKARTA Direktur Jenderal Pajak menetapkan tujuh kriteria bagi wajib pajak (WP) yang dapat dinyatakan sebagai WP nonefektif atau WP yang tidak melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya yang nantinya dapat diaktifkan kembali. Hal itu ditegaskan Dirjen Pajak Mochamad Tjip-tardjo dalam surat edaran 14 September 2009 No. SE 89/PJ/2009 tentang Tatacara Penanganan WP Nonefektif. Aturan ini berlaku mulai 1 Januari 2010.

Ketujuh kriteria itu adalah pertama, selam 3 tahun berturut-turut WP tidak pernah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun penyampaian SPT masa dan atau SPT tahunan. Kedua, tidak diketahui atau ditemukan lagi alamatnya.

Ketiga. WP orang pribadi yang telah meninggal dunia tetapi belum diterima pemberitahuan tertulis secara resmi dari ahli warisnya atau belum mengajukan penghapusan NPWP. Keempat, secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.

Kelima, bendahara tidak melakukan pembayaran lagi. Keenam, WP badan yang telah bubar tetapi belum ada akte pembubaran-nya atau belum ada penyelesaian likuidasi (bagi badan yang sudah mendapatkan pengesahaan dari instansi yang berwenang). Ketujuh, WP orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

"Ini untuk membersihkan administrasi pajak agar tidak kotor dengan data WP yang tidak aktif lagi. Kalau ternyata masih ada yang bisa diaktifkan lagi, ya akan kita aktifkan," kata Tjiptardjo kepada Bisnis saat dimintai konfirmasi tentang penerbitan SE ini, kemarin.

Dua cara Mekanisme penetapan WP nonefektif dilakukan melalui dua cara yaitu pertama, bagi WP yang memenuhi kriteria satu sampai dengan empat, dapat diusulkan secara jabatan oleh account representative. Kedua, bagi WP yang memenuhi kriteria lima sampai dengan tujuh, dapat mengajukan permohonan ke kantor pelayanan pajak.

"Permohonan perubahan status harus diselesaikan 10 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap," tulis SE itu.

Bagi WP yang telah mendapatkan status nonefektif tetap akan tercantum dalam master file WP. Akan tetapi, tidak akan diterbitkan surat teguran sekalipun WP tidak menyampaikan SPT masa atau SPT tahunan. WP ini juga tidak turut diawasi pembayaran masa atau bulannya dan tidak diterbitkan STP atas sanksi administrasi karena tidak menyampaikan SPT.

Dalam SE itu juga diatur WP nonefektif dapat berubah status menjadi WP efektif jika telah menyampaikan SPT masa atau SPT tahunan, membayar pajak, diketahui adanya kegiatan usaha dari WP, diketahui alamat WP, atau mengajukan permohonan untuk diaktifkan kembali.
Bisnis Indonesia

Ditjen Pajak sisir 50 sektor usaha

Senin, 28 September 2009 08:35

JAKARTA Direktorat Jenderal Pajak tenqah menyiapkan benchmarking terhadap 50 sektorusaha tertentu yang akan digunakan sebagai acuan dalam melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan. Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan benchmarking yang dilakukan hanya semata-mata untuk mendeteksi sektor usaha mana yang tidak pa-tuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya."Benchmark ini sebetulnya hanya sebagai alat pantau dini atau early warning. Jadi ini tidak semata-mata dijadikan alat koreksi.

Akan tetapi dicari jawabannya di mana letak kesalahannya kok sektor usaha ini di bawah benchmark," katanya akhir pekan lalu.Dia menuturkan data hasil benchmark tersebut akan di-cross check dengan data penyampaian surat pemberitahuan ISPT) masa maupun tahunan serta data-data lain yang telah disampaikan oleh WP.

Apabila dalam proses verifikasi antara data hasil benchmark dengan surat pemberitahuan (SPT) WP temyata ditemukan alasan yang masuk akal Ditjen Pajak tidak akairmelakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Tidak masuk akal

Namun sebaliknya, benchmark akan dilanjutkan kepada prosespemeriksaan apabila alasan yang ditemukan tidak masuk akal.

"Misalnya, profit ratio sektor usaha tertentu 17% kok ini cuma 0,7% atau 1%, kenapa ini? Kalau waktu didalami ini ada reason-nya bisa dimengerti ya nggak apa-apa. Tapi kok sudah 15 tahun rugi terus ada apa? Ini yang akan didalami," tuturnya.

Dari 50 sektor usaha itu, Tjip-tardjo hanya menyebutkan a.l. sektor usaha di bidang rumah sakit, jasa konstruksi, kelapa sawit, batu bara, dan jasa angkutan. "Kenapa kok cuma 50 sektor usaha? Karena data yang bisa di benchmark untuk saat ini cuma itu. Jadi pertimbangannya praktis aja. Nanti kalau datanya ada lagi, kita tambah lagi. Ini kan berjalan terus," ujarnya.

Tjiptardjo juga tidak membantah bahwa tujuan lain dari kegiatan benchmarking tersebut adalah untuk menggenjot target penerimaan pajak yang setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan.

"Kalau urusan genjot-meng-genjot [penerimaan pajak), ya itutugas kita genjot terus karena ini yang harus kita kejar mana yang tidak benar," katanya.Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam APBNP Rp528 triliun dan realisasi penerimaan pajak hingga Agustus 2009 mencapai 59% (termasuk PPh migas) dari target penerimaan.

Adapun untuk tahun depan, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dalam RAPBN 2010 sebesar Rp651 triliun (termasuk PPh migas).Pada bagian lain, pemerintah menargetkan penerbitan semua peraturan pelaksana UU tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), selesai Desember.

"Waktu penyusunan UU-nya, kita juga sudah menyiapkan draf [aturan pelaksana]. Jadi sampai Desember sudah tuntas semua dan sisanya 3 bulan lagi tinggal sosialisasi," ujar Tjiptardjo di Jakarta. ACHMAD ARIS Bisnis Indonesia

DPR Setujui Pengesahan RUU PPN dan PPnBM

Kamis, 17 September 2009 08:23

Rapat paripurna DPR menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (RUU PPN dan -PPnBM) menjadi UU. Persetujuan tercapai setelah 10 fraksi di DPR dan pemerintah menyampaikan pendapat akhir terhadap RUU itu dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR. Muhaimin Iskandar, di Jakarta. Rabu (16/9). RUU tersebut merupakan perubahan ketiga atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selaku wakil pemerintah menyatakan perubahan ketiga UU itu diharapkan akan lebih memberikan keadilan dan kemudahan kepada wajib pajak dalam memenuhi hak dan kewajibannya, kesederhanaan administrasi perpajakan, kepastian hukum, konsistensi dan transparansi, meningkatkan daya saing serta dapat meningkatkan investasi asing maupun dalam negeri di Indonesia.

UU tentang PPN dan PPnBM yang baru akan berlaku mulai 1 April 2010. Beberapa ketentuan dalam RUU itu. antara lain dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan tersedianya sumber gizi yang harganya terjangkau, maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar, dan buah segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.

Juga diatur bahwa untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu obyek pajak yang sama, maka obyek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN.

Obyek pajak dimaksud adalah barang hasil pertambangan galian C. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya. Jasa perhotelan, jasa boga atau katering. RUU juga mempertegas bahwa jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah tidak dikenakan PPN.

Sementara itu. besarnya tarif tertinggi PPnBM disepakati naik dari 75 persen menjadi 200 persen Ini untuk membrri ruang kepada pemerintah dalam rangka melaksanakan regulasi.

RUU juga mengatur barang yang jika dikonsumsi dapal merusak kesehatan dan moral masyarakat, seperti miras, tidak lagi sebagai barang mewah, karena lebih tepat dikategorikan sebagai barang kena cukai.

Selain itu. diatur bahwa barang hasil pertanian yang diambil lagnsung dari sumbernya tetap sebagai barang kena pajak yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan pedoman pengkredilan pajak masukan atau deemed pajak masukan.

Dalam RUU itu juga diatur mengenai pemberian pengembalian PPN dan PPnBM atas barang bawaan yang dibawa keluar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing) dengan syarat nilai PPN minimal Rp500.000

Sumber : Pelita

17 Jenis Jasa Bebas PPN

Kamis, 17 September 2009 08:34

Sedikitnya 17 jenis jasa akan terbebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal itu diatur dalam UU PPN dan Pa j ak Pen j ualan atas BarangMewah (PPnBM) yang disahkan kemarin. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, beberapa objek pajak yang sudah dikenai pajak daerah akan dikecualikan dari pembebasan PPN. "Untuk menghindari pengenaan pajak berganda pada objek yang sama," terangnya saat rapat paripurna pembahasan RUU PPN dan PPnBM di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Objekpajakyangdikecualikan tersebut yakni jasa perhotelan dan jasa boga atau katering.Kedua jasa ini sudah terkena pajak daerah dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selain itu, barang hasil pertambangan galian juga makanan serta minumanyangdisa-jikan di rumah makan, restoran, warung dan sejenisnya juga dikecualikan dari pembebasan PPN karena sudah dikenai pajak daerah.

Adapun objek pajak yang terbebas PPN, yakni pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan prangko, asuransi, keagamaan, dan pendidikan. Kemudian jasa kesenian dan hiburan, penyiaran yang tidak bersifat iklan, angkutan umum di darat, air, serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.

Selanjutnya, jasa tenaga kerja, jasa yangdisediakanoleh pemerin-tah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, penyediaan tem pa t parkir, telepon umum dengan memakai uang logam, pengiriman uang lewat wesel pos, danjasa keuangan.

Jasa keuangan tersebut. Sri Mulyani menuturkan, termasuk perbankan syariah. PPN 0% juga berlaku untuk jasa dan barang kena pajak (JKP dan BKP) tidak berwujud yang digunakan oleh pengusaha Indonesia di luar daerah pabean dan pemanfaatan BKP tidak berwujud dari Indonesia di luar daerah pabean. "Tujuannya menambah daya saing atas kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia," kata dia.

Dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat, Sri Mulyani melanjutkan, daging segar, telur belum diolah, susu perah, sayuran, dan buah-buahan tidak terkena PPN. Dengan demikian diharapkan har-ga kebutuhan-kebutuhan pokok tersebut dapat terjangkau oleh masyarakat.

Sementara menyangkut PPnBM, sudah disepakati tarif maksimal 200% dan minimal 75%. Barang-barang konsumsi yang merusak, seperti minuman beralkohol disepakati tidak lagi masuk kategori barang mewah.

Ketua Panitia Khusus RUU PPN dan PPnBM Melchias Markus Mekeng menambahkan, perubahan lain dalam perundang-undangan ini adalah pengembalian PPN danPPnBMatasbarangyangdibeli wisatawan asing untuk dibawa ke luar negeri. "Dengan syarat minimal pembelian RpSOO.000. Tujuannya untuk menarik wisatawan asing," kata dia.

Dalam UU ini, tarif PPN ditetapkan 10% namun pemerintah bisa mengubahnya menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15%. Pe-rubahan dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan.

Melchias mengatakan, pengesahan UU ini menggenapkan penyelesaian paket UU Perpajakan yang dibahas sejak Agustus 2005. Dua peraturan yang sudah lebih dulu disahkan adalah UU Ketentuan Umum Perpajakan dan UU Pajak Penghasilan. Dengan seluruh instrumen hukum ini, pemerintah diminta untuk meningkatkan kinerja perpajakan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi sehingga rasio pajak naik.

Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah akan menyiapkan peraturan pelaksanaan atas UU PPN dan PPnBM juga melakukan sosialisasi. Dengan demikian aturan ini dapat diberlakukan 1 April 2010.

Sumber : Seputar Indonesia

S-11/PJ/2009

Melalui S-11/PJ/2009 disebutkan sebagai berikut :

Sebagaimana diketahui bahwa dalam bulan Desember 2008 orang pribadi yang mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP begitu besar jumlahnya sedangkan sistem aplikasi Direktorat Jenderal Pajak belum mampu melayani seluruh proses pendaftaran untuk memperoleh NPWP tersebut bulan Desember 2008, sehingga banyak calon Wajib Pajak yang tidak dapat diberikan NPWP sebelum tanggal 1 Januari 2009.

Untuk memberikan pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak yang tidak terlayani karena keterbatasan kemampuan sistem aplikasi, perlu ditegaskan bahwa terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi yang memperoleh NPWP dalam bulan Januari dan Februari 2009 diperlakukan sama dengan Wajib Pajak orang pribadi yang mendaftarkan diri secara sukarela dalam tahun 2008.

Dengan demikian, Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut dapat memanfaatkan fasilitas Sunset Policy dengan menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan Tahun-tahun pajak sebelumnya paling lambat tanggal 31 Maret 2009.

PMK No 244/PMK.03/2008

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 244/PMK.03/2008

TENTANG

JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C
ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
  1. bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, imbalan sehubungan dengan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas imbalan dimaksud.
  2. bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Menteri Keuangan berwenang mengatur jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan huruf b dimaksud, perlu menetapkan Peraturan menteri Keuangan tentang Jenis Jasa Lain Sebagaiman Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1)Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893)
  3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008.


Pasal 1

(1) Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. Jasa penilai (appraisal);
  2. Jasa aktuaris;
  3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
  4. Jasa perancang (design);
  5. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
  6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
  7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
  8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
  9. Jasa penebangan hutan;
  10. Jasa pengolahan limbah;
  11. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
  12. Jasa perantara dan/atau keagenan;
  13. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
  14. Jasa custodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oelh KSEI;
  15. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
  16. Jasa mixing film;
  17. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
  18. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
  19. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
  20. Jasa maklon;
  21. Jasa penyelidikan dan keamanan;
  22. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
  23. Jasa pengepakan;
  24. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
  25. Jasa pembasmian hama;
  26. Jasa kebersihan atau cleaning service;
  27. Jasa catering atau tata boga.
(3) Dalam hal penerima imbalan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tariff pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tariff sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 2

(1) Jasa penunjang di bidang penambangan migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf f adalah jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi berupa:
  1. Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen secara tepat di antara pipa selubung dan lubang sumur;
  2. Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur semen untuk maksud-maksud:
    • Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong;
    • Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
    • Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
    • Penutupan sumur.
  3. Jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke dalam rangakaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan tersumbatnya pipa;
  4. Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya tembus formasi dan menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;
  5. Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang mempunyai daya tembus sangat kecil;
  6. Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;
  7. Jasa uji kandung lapisan (drill steam testing), penyelesaian sementara suatu sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;
  8. Jasa reparasi pompa reda (reda repair);
  9. Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
  10. Jasa penggantian peralatan/material;
  11. Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumour ke dalam sumur;
  12. Jasa mud engineering;
  13. Jasa well logging & perforating;
  14. Jasa stimulasi dan secondary decovery;
  15. Jasa well testing & wire line service;
  16. Jasa alat control navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
  17. Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
  18. Jasa mobilisasi dan demobilisasi anjungan drilling;
  19. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pegeboran migas.
(2) Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf g adalah semua jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang pertambangan umum berupa:
  1. Jasa pengobaran;
  2. Jasa penebasan;
  3. Jasa pengupahan dan pengeboran;
  4. Jasa penambangan;
  5. Jasa pengangkutan/system transportasi, kecuali jasa angkutan umum;
  6. Jasa pengolahan bahan galian;
  7. Jasa reklamasi tambang;
  8. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur, fabrikasi dan penggalian/pemindahan tanah;
  9. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum.
(3) Jasa penunjang di bidang penerbangan dan Bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf h adalah berupa:
  1. Bidang aeronautika, termasuk:
    1. Jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara dan jasa lain sehubungan dengan pendaratan pesawat udara;
    2. Jasa penggunaan jembatan pintu (avio bridge);
    3. Jasa pelayanan penerbangan;
    4. Jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagian dari proses pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan pesawat udara, baik yang berangkat maupun yang dating, selama pesawat udara didarat;
    5. Jasa penunjang lain di bidang aeronautika.
  2. Bidang non-aeronautika, termasuk:
    1. Jasa catering di pesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat;
    2. Jasa penunjang lain di bidang non-aeronautika.
(4) Jasa maklon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf t adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
(5) Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf v adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelengaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan.


Pasal 3

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd

SRI MULYANI INDRAWATI

PMK No 250/PMK.03/2008

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 250/PMK.03/2008

TENTANG

BESARNYA BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG
DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;

Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893)
  2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BESARNYA BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN.


Pasal 1

(1) Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.
(2) Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.


Pasal 2

Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/1998 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.


Pasal 3

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI